Bisnis Online

Kamis, 08 April 2010

MENDIDIK BUKAN SEKEDAR MENTRANSFER ILMU

Ki Hajar Dewantara pernah memberikan petuah berharga bagi para pendidik negeri ini. Tiga kalimat singkat yang padat makna. Yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Ketiga kalimat itu mengandung arti bahwa pendidikan harus mampu melmberikan contoh, memberikan pengaruh dan harus dapat mengendalikan peserta didik.

Jiwa pendidik pada diri guru, sebagaimana diariskan Ki Hajar Dewantara adalah jiwa ngemong, momong dan among yang berarti guru harus memiliki jiwa kasih sayang dan welas asih.

Namun pada prakteknya, memang sulit untuk bisa mewujudkan sebuah komunikasi yang baik antar guru dan murid. Di kelas hanya terjadi sebuah komunikasi satu arah, apa yang dikatakan guru harus ditelan mentah-mentah oleh murid-muridnya.

Padahal jika seorang guru mampu menanamkan ketauladan dalam dirinya sebagaimana tiga kalimat singkat warisan Ki Hajar Dewantara tersebut, niscaya guru akan mampu membuat murid-muridnya termotivasi, selalu bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Di sini memang diperlukan guru yang tidak hanya bisa mendidik, tapi juga bisa mengajar.

Mendidik memang bukan sekedar memberikan penjelasan dengan menyampaikan materi dan memberi tugas pada peserta didik. Karenanya pula, seorang pendidik punya kewajiban untuk selalu meng-up grade kemampuan dalam penguasaan pengetahuan dan metode pengajaran serta memanfaatkan sumber-sumber belajar dari luar sekolah.

Tujuannya agar pendidik tidak mengalami stagnasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.

Menurut Rektor Universitas Negara Jakarta Prof. Sutjipto saat ini 50 persen dari guru di Indonesia belum memiliki kualitas sesuai standarisasi pendidikan nasional (SPN). Apalagi jika diukur berdasarkan standarisasi internasional, sudah pasti kualitas guru kita akan semakin tertinggal.

Mengapa hal ini terjadi?. Menurut Christoper Bjor, penulis buku Indonesia Education: Teachers Schools, and Central Bureaucracy, salah satu faktornya adalah tidak adanya profesionalisme dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, sehingga proses belajar mengajar tak lebih sebagai acara ritual kurikuler yang menjemukan karena tidak adanya kreativitas dan inovasi para pendidiknya.

Baik inovasi dan kreativitas dalam metode pengajaran maupun materi ajar yang disampaikan. Akibatnya proses transfer of knowledge-nya tidak berjalan secara efektif karena peserta didik merasa tidak bergairah dan suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) menjadi beku.
Padahal tugas seorang pendidik tidak terbatas pada pemenuhan otak siswa saja dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun seorang guru juga harus mengajarkan pendidikan mnyeluruh yang memasukan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya, seorang pendidik yang sukses harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku siswanya di kelas sesuai nilai moral yang berlaku.

Mengapa Harus Mendidik

Mendiidk adalah kata imbuhan yang berkarakter dari kata “didik” dari kata itu pula terbentuk kata lain yakni pendidik dan terdidik. Kata mendidik merupakan kata kerja dari suatu perbuatan didik, yakni membuat orang jadi terdidik, mentransfer pengetahuan kepada orang lain dengan cara yang sistemik.

Jadi mendidik adalah suatu perbuatan pentransferan pengetahuan kepada seseorang dari tidak tahu menjadi tahu secara sistemik, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya, di masa kini dan mendatang serta tidak tergantung kepada orang lain.

Hal ini berarti adanya pendidikan manusia mampu hidup mandiri, dapat membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik dan tentunya dapat menjadik halifah di bumi.
Adapun kata pendidik lebih ditujukan kepada orang yang menerima didikan yakni guru, sedangkan terdidik adalah orang yang menerima didikan yakni murid atau siswa. Selain tiga kata tersebut di atas kita juga mengenal istilah pendidikan yang merupakan bentukan lain dari kata didik.

Jadi tugas pendidik yang paling inti adalah emmbimbing si terdidik agar bisa mengenal dirinya soal kehidupan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Tentunya para terdidik ini juga memiliki pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi juga keimanan dan ketakwaan.

Sehingga yang didapat dalam proses pendidikan itu tidak hanya sekedar diketahui melainkan juga diamalkan dan diyakini sendiri terutama dalam hal ilmu keagamaan.

Mendidik lebih Luas dari Mengajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengajar berarti proses memberi petunjuk yang diberikan kepada orang lain supaya diketahui (diturut). Sementara mendidik. Artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenal akhlak dan kecerdasan. Berdasarkan pengertian harfiah tersebut, dapat dikatakan bahwa “mendidik sudah pasti mengajar, tetapi mengajar belum tentu mendidik”. Sehingga pengertian medidik adalah lebih luas dibandingkan mengajar.

Perbedaan filosofis antara mendidik dan mengajar memang sering tidak disadari para guru. Seorang guru yang mengajar dengan tujuan mendidik, perlu menjadi profesinya itu sebagai sebuah seni menyebarkan akhlak positif bagi generasi muda, menjadikan tingkah lakunya agar bisa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan proses pendidikan.

Tingkah laku pendidik akan menjadi teladan bagi anak didiknya. Tak salah dengan pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” sosok guru menjadi panutan anak didiknya dalam berprilaku. Guru menjadi pedoman ‘digugu dan ditiru’ atau didengar dan dicontoh.

Guru pun mengemban tanggung jawab semakin luas. Saat ini banyak pula guru baru sebatas menjadi ‘pengajar’ bukan ‘pendidik’. Guru mengajar hanya dengan mulut, tapi mendidik memerlukan ketetapan dan kelembutan hati.

Karena itu, perlu diperjelas bahwa tugas pokok guru adalah mengajar, sekaligus mendidik. Guru diharapkan dapat membekali anak didiknya dengan ilmu yang bermanfaat dan berakhlak mulia. Berbudi pekerti luhur. Itulah inti mendidik dengan cinta kasih.

Mendidik adalah Roh Pendidikan

Sebenarnya, pada awalnya istilah pedagogi lebih dulu dikenal dari pada istilah edukasi. Namun pada perkembangannya, ketika sekitar dekade 1960-an, di Amerika terjadi kekalutan besar. Mereka merasa tertinggal dengan bangsa lain, khususnya Uni Soviet yang baru saja meluncurkan satelitnya Sputnik.

Kegiatan peenlitian di Amerika pun lebih digiatkan, ilmu pengetahuan menjadi sorotan utama di sana. Dan untuk menjamin keunggulan ilmu pengetahuan itu, Amerika Serikat merombak pendidikannya.

Kurikulum dimodernisasi terutama dalam area ilmu pengetahuan matematika dan bahasa asing. Proyek telah dikembangkan oleh Universitas akademis, seperti Physical Science Studi Commitee Eksakta (PSSC) dan University of Illinois Committee on School Mathematics (ULCSM), hal itu dimaksudkan untuk memperbaharui dan meningkatkan mutu isinya, merangsang teknik mengajar yang diorientasikan pada penemuan (discovery oriented).

Dari sinilah kemudian mengubah segala bentuk pedagogik menjadi “education” yang dalam padanan Bahasa Indonesia dikenal dengan pendidikan. Sehingga, pandangan klasik tentang pendidikan tempo dulu yang kita kenal mulai luntur.

Arah pendidikan pun berubah dari mengajarkan tentang kebajikan, menjadi ruang untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai manusia lainnya. Para murid tidak lagi diajarkan tentang nilai-nailai kesantunan, kasih sayang dan menghormati hak sesama.

Padahal mendidi atau pedagogy sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan eksatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan perdaban.

Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa mendidik bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Mendidik menjadi inti dari pendidikan itu sendiri. Disinilah roh pendidikan dititupkan melalui mendidik. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi penolong bagi umat manusia. Sementara mengajar hanya pada tataran transfer of knowledge.

Gunakan Hati dan Kasih
Mengajar di sekolah memang berbeda dengan bentuk didikan orang tua terhadap anaknya. Mengajar dapat dikatakan sebagai kegiatan yang gampang-gampang susah.

Satu hal yang sangat penting, sebagai inti dalam mendidik adalah mendidik dengan cinta kasih pun tidak dapat terlepas dari proses mendidik dengan hati, penuh kasih sayang dan memberikan teladan yang baik.

Para pendidik tidak hanya mentransfer ilmu semata, unsur kasih sayang yang tidak diberikan oleh guru dalam mengajar memberikan keyakinan kepada para muridnya bahwa mereka mampu berprestasi, mereka bisa berkreasi dan mereka dapat melakukan yang terbaik.

Anak-anak diberikan suatu kebebasan berekspresi dan berkiprah dalam berbagai bidang yang mereka kuasai, sehingga mereka mampu berbuat sesuatu secara positif dan bermanfaat. Guru hendaknya tidak sebatas menjalankan peran antar guru dan anak didik. Perlakuan anak didik ibarat anak kandung sendiri. Curahan kasih sayangnya tulus, tidak berdasar batas guru dan murid.

Selain cinta kasih persoalan penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan proses mendidik adalah kepercayaan dan kewibawaan. Ketiga hal itu bisa saling bertautan dan saling melengkapi. Cinta melahirkan kepercayaan. Kepercayaan terhadap guru pun dapat menumbuhkan kewibawaan guru dihadapan anak didiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar